Senin, 31 Mei 2010

SINTUWU MAROSO SEBAGAI NILAI KEARIFAN LOKAL DALAM PENYELENGARAAN PEMERINTAHAN DI KABUPATEN POSO

abstraksi

Sintuwu Maroso dalam bahasa Poso mengandung dua makna yaitu Sintuwu yang berarti bersatu atau persatuan sedangkan maroso berarti kuat sehingga apabila digabungkan berarti persatuan yang kuat.

Nilai kearifan lokal yang kenal masyarakat poso “Sintuwu Maroso” perlu perlu diperkenalkan kepada generasi muda kedepan. Sintuwu maroso adalah mufakat bersama untuk melakukan suatu kegiatan secara bersama-sama.

Dengan memegang nilai Sintuwu Maroso ini maka masyarakat poso bisa bekerja sama dengan penuh rasa kekeluargaan satu komunitas dengan persatuan yang kuat. Kegiatan bersama dalam konteks sosial dan agama disebut sebagai mesale atau rasa tanggung jawab sosial dalam membantu masyarakat yang lain melakukan tugasnya.

Sintuwu juga mengandung pengertian adanya nasialapale atau keterbukaan dalam keterbukaan menerima keyakinan agama, bahasa, adat istiadat yang berbeda, rasa solidaritas dan kekeluargaan yang meningkat antar sesama warga, serta rasa simpatik dan penghargaan antar sesama. Selain itu terkanung makna membetulungi dan mombepelae atau kepedulian sosial yaitu semangat saling membantu dan bahu membahu.






BAB I

PENDALUHUAN

A. Latar Belakang

Poso merupakan sebuah kabupaten di Provinsi Sulawesi Tengah yang memiliki luas wilayah 14.433,76 Km2 dengan letak geografis 0,35-1,20 LU dan 120,12-122,09 BT. Di wilayah administratif kabupaten Poso menyebar 13 kecamatan yang membawahi 211 desa dan 29 kelurahan, yang didiami 231.891 jiwa (sensus penduduk 2000) dengan pluralitas masyarakat yang hidup dari beragam komunitas etnis dan agama. Di samping tanah pertanian yang subur, sebagian besar wilayah kabupaten Poso ditumbuhi hutan dengan vegetasi kayu-kayuan (jenis agathis, ebony, meranti, besi, damar dan rotan), fauna yang hidup secara endemik (anoa, babi rusa dan burung maleo) serta tambang mineral yang cukup banyak tersebar di sekitar kawasan pegunungan.

Nilai-nilai kearifan lokal ternyata bisa menjadi senjata ampuh dalam menjaga persatuan dan kesatuan yang ada. Nilai kearifan Lokal begitu melekat di masyarakat. Kearifan lokal adalah sikap, pandangan, dan kemampuan suatu komunitas didalam mengelola lingkungan rohani dan jasmaninya, yang memberikan kepada komunitas itu daya tahan dan daya tumbuh didalam wilayah dimana komunitas itu berada (Saini : Hal 5 thn 2005).

Masyarakat Poso mempunyai latar belakang sejarah dan peradaban yang panjang di masa lampau yang bisa dilacak lewat warisan peninggalan kebudayaan megalit. Secara kultural masyarakat Poso yang menggunakan bahasa Bare’e dalam komunikasi, mengikat kekerabatan mereka dengan semboyan “Sintuwu Maroso” (persatuan yang kuat) yang bertahan hingga meledaknya konflik sosial pada akhir 1998 yang terus berlanjut sampai dengan sekarang.

B. Rumusan Masalah

Adapun rumusan masalah dari makalah ini adalah sebagai berikut :

1. Bagaimana nilai kearifan lokal di Kabupaten Poso ?

2. Bagaimana implementasi Sintuwu Maroso sebagai nilai kearifan lokal dalam penyelengaraan pemerintahan di Kabupaten Poso ?

C. Tujuan Penulisan

Adapun tujuan penulisan dari makalah ini adalah :

1. Agar pembaca mengetahui nilai kearifan lokal di Kabupaten Poso.

2. Agar pembaca mengetahui implementasi Sintuwu Maroso sebagai nilai kearifan lokal dalam penyelengaraan pemerintahan di Kabupaten Poso.






BAB II

PEMBAHASAN

A. Nilai Kearifan Lokal Di Kabupaten Poso

Kabupaten Poso tergolong berpenduduk sangat heterogen. Sebelum konflik terjadi, masyarakat dengan aneka etnis maupun agama hidup rukun dalam harmoni sosial yang sangat terjaga. Walau suku Pamona, yang boleh dikatakan sebagai pribumi Tanah Poso, mendominasi entitas suku yang ada di Poso, namun pergesekan antar etnis nyaris tak pernah ada. Mereka hidup dalam satu consince collective yang disebut dengan Sintuwu Maroso.

Sintuwu Maroso merupakan satu kearifan lokal atau semboyan yang sering digunakan oleh masyarakat kabupaten Poso. masyarakat Poso merupakan masyarakat yang di kenal sangat menjunjung tinggi adat-istiadat dan rasa kekeluargaan.

Sintuwu Maroso dalam bahasa Bare’e mengandung dua makna yaitu Sintuwu yang berarti bersatu atau persatuan sedangkan maroso berarti kuat sehingga apabila digabungkan berarti persatuan yang kuat. Makna sintuwu maroso adalah bersatu dalam satu kekuatan persatuan tanah Poso.

Nilai-nilai yang lahir dari hasil perjumpaan hidup bersama, dan menjadi jaminan kelangsungan hidup komunitas. Nilai-nilai dasar yang disepakati sebagai warisan turun-temurun tersebut dirumuskan dalam satu istilah yang disebut ada Sintuwu yaitu nilai yang menjadi kekuatan hidup bersama atas dasar kesamaan kehidupan. Ada Sintuwu menjadi nilai yang mengandung makna optimistis untuk menjadi perekat terbangunnya hidup bersama. Nilai-nilai yang mendukung kehidupan dan kekuatan perekat keragaman menjamin komunitas Tana Poso untuk menemukan kembali identitas sebagai umat bermartabat.

Sintuwu juga mengandung pengertian adanya nasialapale atau keterbukaan dalam keterbukaan menerima keyakinan agama, bahasa, adat istiadat yang berbeda, rasa solidaritas dan kekeluargaan yang meningkat diantara sesama warga, serta rasa simpatik dan penghargaan antar sesama. Selain itu terkandung makna membetulungi dan mombepelae atau kepedulian sosial yaitu semangat saling membantu dan bahu membahu.

Sintuwu maroso adalah pengjewantahan (perwujudan serta wujud) impian dan harapan orang – orang Pamona-Poso. Suatu hal yang menjadi impian atau impian seluruh orang Pamona-Poso. Inilah yang dinamakan Visi. Tentu Untuk mengimlementasikan impian tersebut tidaklah semudah mengedipkan mata. Diperlukan dukungan moril dan materil Untuk mewujudkannya. Olehnya harus ada upaya dari seluruh komponen orang untuk mencapai cara-cara untuk mewujudkan impian tersebut.(Guntur Sm Desember 2009).

Makna filosofis yang terkandung dalam semboyan Sintuwu Maroso. Semboyan Sintuwu Maroso (Bahasa Pamona secara sederhana berarti : Persatuan, kerjasama yang kokoh dalam rambu saling menghormati dan menghargai) mencerminkan keterbukaan, keramahan, bahu membahu dan tolong menolong yang dinyatakan dengan sikap toleransi yang tinggi kepada siapapun termasuk kepada orang yang berbeda suku maupun agama sekalipun. Karena falsafah yang sudah mendarah daging secara turun temurun ini, kerap terekspresi dalam bentuk sikap mengalah dalam setiap sendi kehidupan bermasyarakat orang Poso (orang Pamona).

Dengan memegang nilai kearifan lokal sintuwu Maroso maka masyarakat poso bisa bekerjasama dengan penuh kekeluargaan dalam rasa kebersamaan satu komuniti. Kegiatan bersama dalam konteks sosial dan agama ini disebut sebagai Mesale atau rasa tangungjawab sosial dalam membantu anggota masyarakat yang lain melakukan tugasnya.

Nilai kearifan lokal lainnya yang dapat dimaksimalkan adalah tradisi padungku yang merupakan bentuk kesyukuran atas nikmat dan rezeki yang telah diberikan oleh Tuhan. Apabila nilai ini dikembangkan sebagai bagian dari penyelesaian konflik di Poso maka perdamaian abadi akan bisa diwujudkan.

Keragaman agama, etnik, dan budaya, tanpa disadari telah menciptakan building block yang mengganggu harmoni kohesi dan interrelasi sosial. Hal ini sebenarnya merupakan akibat dari sistem otoritarian Orde Baru yang tidak merancang kerukunan dan kedamaian antar etnis dan agama dengan basis keragaman melainkan dengan basis keseregaman. Karena itu, begitu Orde Baru jatuh, konflik yang tertahan pun mencuat.

Nilai-nilai kearifan lokal semacam itulah yang dilupakan pemerintah ketika melakukan proses perdamaian di kabupaten Poso Sehingga keadilan dan kesetaraan di bidang politik, sosial budaya, dan ekonomi antara masyarakat asli dan pendatang tidak bisa terwujud. Padahal nilai kearifan lokal adalah bagian penting kehidupan sehari-hari masyarakat. Sehingga tidak seharusnya pendekatan budaya lokal dipindahkan dari upaya menyelesaikan konflik yang terjadi pada masyarakat yang heterogen seperti di kabupaten Poso.

B. Implementasi Sintuwu Maroso Sebagai Nilai Kearifan Lokal Dalam Penyelengaraan Pemerintahan Di Kabupaten Poso

Konflik Poso yang muncul dipermukaan lebih dilihat dari aspek SARA (suku, agama, ras dan antar kelompok). Akan tetapi bila diperhatikan secara cermat, konflik Poso lebih didasarkan pada kesenjangan politik pemerintahan dan kesenjangan sosial ekonomi.

Kesenjangan politik pemerintahan pada dasarnya dipicu pergeseran pemegang tampuk pemerintahan daerah/lokal. Pergeseran pengendalian pemerintah di kawasan Poso dari pemerintahan kolonial Hindia-Belanda kepada Negara Kesatuan Republik Indonesia juga menggeser kepemimpinan lokal dari etnislokal kepada etnis pendatang. Pergeseran kepemimpinan ini juga berimplikasi terhadap proses rekrutmen pegawai negeri sipil yang mengabdi kepada pemerintahan daerah setempat, tentunya.

Pasca konflik Poso belum menemukan formula ideal guna menuntaskan problem masyarakatPoso. Oleh sebab itu ada baiknya merumuskan agenda transisi yang jelas dan dapat diwujudkan dalam periode tertentu dan dengan mekanisme serta instrument demokratik yang berbasis pada masyarakat sipil sebab hal ini merupakan tuntutan penting daripada sekedar merumuskan formula-formula ideal yang sifatnya sesaat.

Poso hendaknya ditarik dalam satu perspektif kemajemukan, daerahnya terbentuk oleh model masyarakat yang plural, multi suku dan bermacam agama, meski demikian, mereka tidak terintegrasi satu dengan yang lainnya. Sebagaimana idealnya sebuah wilayah majemuk dibangun. Hal ini akibat adanya segregasi wilayah berdasar agama dan suku. Di kecamatan Poso Kota misalnya, nama kampung didasari pada suku yang dominan mendiami wilayah tertentu. Ada kampung Gorontalo, Kampung Bugis, Kampung Arab, Kampung Minahasa dan berbagai term yang menunjukan sebuah entitas etnis yang sangat ekstrim.

Segregasi berdasar suku dan etnis tersebut kemudian diperkuat lagi oleh entitas keberagamaan masyarakatnya. Artinya, Kampung Bugis, Kampung Gorontalo, Arab misalnya penduduknya dominan beragama Islam, sementara Kampung Minahasa dan semacamnya, lebih merujuk pada agama Kristen. Oleh sebab itu masyarakat yang multi etnis demikian terpetakan dalam spectrum perbedaan dripada persamaan dengan demikian, masyarakat majemuk adalah unit politik suku- yang dihuni berbagai suku yang hidup berdampingan satu sama lain tapi tidak bercampur. (Furnivall 1948).

Masyarakat majemuk tersebut dalam perkembangan selanjutnya, diwarnai oleh semangat perbedaan dalam nuansa politik (termasuk pertikaian) sementara semangat cultural yang mampu merepresentasi sikap toleransi dan pemahaman bersama tidak pernah muncul. Oleh karenanya, interaksi mereka mengalami siklus yang stagnan dan kontra produktif dalam isu kebersamaan dalam keragaman. Masyarakat kehilangan momentum penting dalam menata pergaulan antar budaya.

Sikap akomodatif demikian pada perkembangannya memungkinkan adanya persentuhan tradisi, selanjutnya berdampak pada munculnya pluralism di masyarakat, seperti kemajemukan etnis dan agama, hal demikian juga berarti kemajemukan tradisi. Poso berkembang sebagai masyarakat yang plural, baik etnis maupun agama. Ikatan kekerabatan yang juga muncul sebagai akibat persentuhan tradisi, semboyan Sintuwu Maroso, bukanlah jargon yang dibuat hanya untuk kepentingan rekonsiliasi, namun term itu telah terbentuk sepanjang sejarah Poso.

Masyarakat Poso pada perkembangan selanjutnya, terjebak pada logika kapitalisme, dimana prinsip-prinsip saling membantu dan bekerja sama tidak tampak.kehidupan harmonis yang dilandasi semangat Sintuwu Maroso, Nampak hanya berada dalam logika social dan kekerabatan tanpa menyentuh aspek lain, seperti munculnya penciptaan system ekonomi yang mengedepankan prinsip saling membantu sebagaimana diamanahkan oleh symbol budaya tersebut.

Dalam penyelelesaian konflik di Poso pemerintah menggunakan pendekatan budaya sebagai sarana penyelesaian konflik di Poso. Konsep tentang nilai budaya Sintuwu Maroso hendaknya lebih ditransformasikan kedalam nilai-nilai kerjasama ekonomi dan etos kerja masyarakat dalam rangka membentuk juang masyarakat Poso.

Nilai kearifan lokal yang dikenal masyarakat Poso, Sintuwu, perlu dipupuk dan diperkenalkan kepada generasi muda setempat. Sintuwu adalah mufakat bersama untuk melakukan suatu kegiatan secara bersama-sama. Karena konflik yang terjadi sejak 1998 di Poso nilai kearifan lokal ini seolah luntur dan dilupakan.

Dengan memegang nilai sintuwu maka masyarakat Poso bisa bekerjasama dengan penuh kekeluargaan dalam rasa kebersamaan satu komuniti. Kegiatan bersama dalam konteks sosial dan agama ini disebut sebagai Mesale atau rasa tangungjawab sosial dalam membantu anggota masyarakat yang lain melakukan tugasnya.

Sintuwu Maroso mempunyai pengertian sebagai ‘bersatu kita kuat’. Sebagai implementasi dari Sintuwu Maroso kini digalakkan kembali aktivitas pos Sintuwu, tari dero dan padungku. Inilah perekat yang diharapkan dapat mengembalikan kondisi sosial, ekonomi dan politik di Kabupaten Poso. Namun apapun bentuk pemulihan yang dilakukan, sebelum para pengungsi kembali ke kampung halamannya, maka proses pemulihan itu belum mencapai hasil optimal.






BAB III

PENUTUP

A. Kesimpulan

Poso merupakan sebuah kabupaten di Provinsi Sulawesi Tengah yang memiliki luas wilayah 14.433,76 Km2 dengan letak geografis 0,35-1,20 LU dan 120,12-122,09 BT. Di wilayah administratif kabupaten Poso menyebar 13 kecamatan yang membawahi 211 desa dan 29 kelurahan, yang didiami 231.891 jiwa (sensus penduduk 2000) dengan pluralitas masyarakat yang hidup dari beragam komunitas etnis dan agama.

Sintuwu Maroso merupakan satu kearifan lokal atau semboyan yang sering digunakan oleh masyarakat kabupaten Poso. masyarakat Poso merupakan masyarakat yang di kenal sangat menjunjung tinggi adat-istiadat dan rasa kekeluargaan.

Sintuwu Maroso dalam bahasa Bare’e mengandung dua makna yaitu Sintuwu yang berarti bersatu atau persatuan sedangkan maroso berarti kuat sehingga apabila digabungkan berarti persatuan yang kuat. Makna sintuwu maroso adalah bersatu dalam satu kekuatan persatuan tanah Poso.

Dalam penyelelesaian konflik di Poso pemerintah menggunakan pendekatan budaya sebagai sarana penyelesaian konflik di Poso. Konsep tentang nilai budaya Sintuwu Maroso hendaknya lebih ditransformasikan kedalam nilai-nilai kerjasama ekonomi dan etos kerja masyarakat dalam rangka membentuk juang masyarakat Poso.

Dengan memegang nilai sintuwu maka masyarakat Poso bisa bekerjasama dengan penuh kekeluargaan dalam rasa kebersamaan satu komuniti. Kegiatan bersama dalam konteks sosial dan agama ini disebut sebagai Mesale atau rasa tangungjawab sosial dalam membantu anggota masyarakat yang lain melakukan tugasnya.

Sintuwu Maroso mempunyai pengertian sebagai ‘bersatu kita kuat’. Sebagai implementasi dari Sintuwu Maroso kini digalakkan kembali aktivitas pos Sintuwu, tari dero dan padungku. Inilah perekat yang diharapkan dapat mengembalikan kondisi sosial, ekonomi dan politik di Kabupaten Poso. Namun apapun bentuk pemulihan yang dilakukan, sebelum para pengungsi kembali ke kampung halamannya, maka proses pemulihan itu belum mencapai hasil optimal.











DAFTAR PUSTAKA

Ø http://www.commongroundnews.org/article.php?id=25598&lan=ba&sid=1&sp=0

Ø http://katalog.pdii.lipi.go.id/index.php/searchkatalog/downloadDatabyId/6525/6526.pdf.

Ø Surahman, 2007. Konflik Horisontal dalam Penguasaan Sumber Daya Sosial, Studi Kasus di Poso Sulawesi Tengah. Disertasi Bandung. Universitas Padjajaran.

Ø http://www.radarsulteng.com/berita/index.asp?Berita=Opini&id=29345.

Ø http://catatanposo.blogdetik.com/2006/07/.

Senin, 10 Mei 2010

SINTUWU MAROSO SEBAGAI NILAI KEARIFAN LOKAL DALAM PENYELENGARAAN PEMERINTAHAN DI KABUPATEN POSO

Sintuwu Maroso dalam bahasa Poso mengandung dua makna yaitu Sintuwu yang berarti bersatu atau persatuan sedangkan maroso berarti kuat sehingga apabila digabungkan berarti persatuan yang kuat.
Nilai kearifan lokal yang kenal masyarakat poso “Sintuwu Maroso” perlu perlu diperkenalkan kepada generasi muda kedepan. Sintuwu maroso adalah mufakat bersama untuk melakukan suatu kegiatan secara bersama-sama.
Dengan memegang nilai Sintuwu Maroso ini maka masyarakat poso bisa bekerja sama dengan penuh rasa kekeluargaan satu komunitas dengan persatuan yang kuat. Kegiatan bersama dalam konteks sosial dan agama disebut sebagai mesale atau rasa tanggung jawab sosial dalam membantu masyarakat yang lain melakukan tugasnya.
Sintuwu juga mengandung pengertian adanya nasialapale atau keterbukaan dalam keterbukaan menerima keyakinan agama, bahasa, adat istiadat yang berbeda, rasa solidaritas dan kekeluargaan yang meningkat antar sesama warga, serta rasa simpatik dan penghargaan antar sesama. Selain itu terkanung makna membetulungi dan mombepelae atau kepedulian sosial yaitu semangat saling membantu dan bahu membahu.





Nama : Nurlaela Ndobe
stambuk : B 401 07 099

Rabu, 05 Mei 2010

Pendalaman Politik Lokal Pemerintahan Asli di Sulawesi Tengah

Pendalaman Politik Lokal
Pemerintahan Asli di Sulawesi Tengah

Pemerintahan lokal/asli Kaili-Palu
Suku bangsa Kaili adalah salah satu suku asli yang ada provinsi Sulawesi Tengah. Suku bangsa Kaili memiliki banyak kerajaan-kerajaan kecil yang tersebar di seluruh wilayah Palu, Banawa, Tavaili, Parigi, Sigi, dan Kulavi. Salah satunya adalah kerajaan Kagaua yang terdapat di lembah Palu.
Struktur masyarakat Kaili dalam kerajaan Kagaua ini memiliki beberapa tingkatan :
• Madika/Maradika adalah golongan keturunan raja atau bangsawan.
• Totua Nungata adalah Golongan keturunan tokoh-tokoh masyarakat.
• To Dea adalah golongan masyarakat biasa.
• Batua adalah golongan Hamba/budak.
Kerajaan Kagaua sebagai salah kerajaan suku bangsa Kaili, juga memiliki struktur pemerintahan yaitu :
• Magau bagi sebutan Raja.
• Raja Muda disebut Madika Malolo.
• Dalam penyelenggaraan pemerintahan sehari-hari, Magau dibantu oleh Dewan Pemerintahan Kerajaan yang disebut Libu Nu Maradika yang terdiri dari :
1. Madika Matua adalah Ketua Dewan Kerajaan yang berfungsi sebagai Perdana Menteri.
2. Punggawa adalah Pengawas pelaksana adat yang membidangi dan menangani urusan dalam negeri.
3. Galara adalah Hakim adat.
4. Pabicara adalah juru bicara Magau atau raja.
5. Tadulako adalah Panglima perang yang menangani urusan Keamanan.
6. Sabandara adalah Bendahara yang menangani urusan pelabuhan.
• Untuk badan legislatif kerajaan Kagaua disebut Libu Nto Deya atau Dewan Permusyawaratan Rakyat (demokrasi deliberatif) yang sekaligus menjadi dewan perwakilan rakyat (house of reprecentative) yang merupakan keterwakilan dari tujuh penjuru wilayah yang disebut Kota Pitunggota atau Kota Patanggota yang mewakili empat penjuru wilayah.
• Sebutan terhadap masing-masing Kota tersebut berdasarkan luasnya wilayah kerajaan yang memiliki banyak perwakilan kampung dari beberapa penjuru.
• Istilah kampung menunjukkan sebuah Desa yang disebut Soki.
• Ketua Kota Pitunggota atau Kota Patanggota di sebut Baligau.

selebriti di kancah perpolitikan Indonesia

BAB I
PENDAHULUAN

A. LATAR BELAKANG
Saat ini terjadi sebuah fenomena menarik dalam kehidupan demokrasi di Indonesia. Artis, sebagai bagian dari warga negara, ramai-ramai mencalonkan diri atau dicalonkan oleh partai politik untuk menduduki jabatan publik. Dalam konteks sejarah politik bangsa, masuknya artis dalam kancah politik bukan sesuatu yang baru. Artis telah membanjiri kehidupan politik praktis, terutama sejak masa Orde Baru (1966-1998). Hampir semua partai politik saat itu punya unsur artis dalam aktivitas politiknya.
Tidak ada sebuah syarat baku yang sama diterapkan di seluruh dunia untuk menguji kelayakan dan kepantasan seorang wakil rakyat. Namun setidaknya dari semangat demokrasi, baik dalam makna normatif, prosedural ataupun substansial, diisyaratkan tiga karakteristik yang harus dipenuhi seorang wakil rakyat, yakni memiliki kejelasan visi (vision), daya dukung publik yang memadai (acceptibility), dan rasa tanggung jawab (responsibility).
Ketiganya jelas syarat minimal untuk membentuk sebuah demokrasi yang rasional, kontekstual, dan bermoral. Dalam praktiknya, ketiga syarat itu tidak disematkan pada sekelompok orang tertentu. Bahkan dalam logika demokrasi, yang mengakui persamaan, semua orang dianggap mungkin untuk memiliki ketiganya.
Atas dasar pemahaman inilah secara substansial seorang artis sebagai seorang warga negara patut diperlakukan sama dengan kalangan lain yang memiliki profesi bukan artis. Persoalannya adalah apakah artis yang saat ini berputar haluan menjadi wakil rakyat memiliki kemampuan untuk memenuhi ketiga syarat itu? Tentu saja kita tidak bisa menghakimi seseorang dari kulit luarnya sebagaimana pepatah don't judge the book form the title.
Mungkin saja seorang artis itu memang benar-benar bisa memenuhi ketiganya. Sementara belum tentu juga mereka yang bukan dari kalangan artis benar-benar bisa memenuhi ketiganya. Terbukti mereka yang tertangkap melakukan korupsi dan dicap sebagai "politisi busuk" berasal dari beragam latar belakang profesi. Namun, tidak salah juga jika ada kalangan yang mengkhawatirkan masuknya artis dalam dunia perpolitikan kita.
Alasannya sederhana, dengan maraknya infotainment, sebenarnya gerak langkah artis sudah terpantau habis-habisan oleh publik. Dari informasi yang didapatkan itu, memang jarang sekali artis-artis tertangkap sedang melakukan kegiatan yang berhubungan dengan pengasahan kapabilitas sebagai seorang wakil rakyat. Yang menjadi pertanyaan bagi sebagian besar masyarakat adalah apakah kita mau menyerahkan nasib kita kepada orang yang masih harus belajar banyak? Apakah mereka mampu membawa aspirasi masyarakat ?

B. RUMUSAN MASALAH
Adapun rumusan masalah dari makalah ini adalah :
a. Apa yang melatarbelakangi selebritis terjun ke dunia politik Indonesia ?
b. Bagaimana kiprah selebriti dikancah perpolitikan Indonesia ?




BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

A. PERAN SELEBRITIS SEBAGAI VOTE GATTER (PENARIK MASSA/PENGUMPUL MASSA)
Ilmu politik adalah ilmu yang mempelajari politik atau politics atau kepolitikan. Politik adalah usaha mengapai kehidupan yang baik. Di Indonesia kita teringat pepatah Gemah Ripa Loh Jinawi. Orang yunani kuno terutama plato dan aristoteles menamakannya sebagai en dam onia atau the good life.
Dewasa ini definisi mengenai politik yang sangat termatif itu telah terdesak oleh definisi-definisi lain yang lebih menekankan pada upaya (neans) untuk mencapai masyarakat yang baik, seperti kekuasaan, pembuatan keputusan, kebijakan, alokasi nilai dan lain sebagainya.
Dengan demikian kita sampai pada kesimpulan bahwa politik dalam suatu Negara (state) berkaitan dengan masalah kekuasaan (power) pengambilan keputusan (decision making), kebijakan publik (public policy), dan alokasi atau distribusi(allocation or distribution).
Namun demikian, pengertian politik sebagai usaha untuk mencapai suatu masyarakat yang lebih baik dari pada yang dihadapinya, atau yang disebut peter merkl:”politik dalam bentuk yang paling baik adalah usaha untuk mencapai tatanan sosial yang berkeadilan”
Pada umumnya dapat dikatakan bahwa politik (politics) adalah usaha untuk menentukan paraturan_peraturan yang dapat diterima baik oleh sebagian besar warga, untuk membawa masyarakat kearah kehidupan bersama yang harmonis.
Usaha menggapai the good life ini menyangkut bermacam-macam kegiatan yang antara lain menyangkut proses penentuan tujuan dari sistem, serta cara-cara melaksanakan tujuan itu. Masyarakat mengambil keputusan mengenai apakah yang menjadi tujuan dari sistem politik itu dan hal ini menyangkut pilihan antara beberapa alternatif serta urutan prioritas dari tujuan-tujuan yang terlah di tentukan itu.
Akan tetapi, kegiatan-kegiatan ini dapat menimbulkan konflik karena nilai-nilai yang dikejar biasanya langkah sifatnya. Dipihak lain, di negara demokrasi, kegiatan ini juga memerlukan kerja sama karna kehidupan manusia bersifat kolektif. Dalam rangka ini politik pada dasarnya dapat dilihat sebagai usaha penyelesaian konflik atau consensus.
Tetapi tidak dapat disangkal bahwa dalam pelaksanaanya, kegiatan politik disamping segi-segi yang baik, juga menyangkut segi-segi negative. Hal ini disebabkan karna politik mencerminkan tabiat manusia, baik nalurinya yang baik maupun yang buruk. Perasaan manusia yang beraneka ragam sifatnya, sangat mendalam dan sering bertentangan, mencakup rasa cinta benci, setia, bangga, malu dan marah. Tidak heran jika dalam realitas sehari-hari acap kali berhadapan dengan banyak kegiatan yang tak terpuji. Singkatnya, politik adalah perebutan kekuasaan, tahta, dan harta. Di bwah ini ada dua sarjana yang menguraikan definisi politik yang berkaitan dengan masalah konflik dan consensus.
1. Menurut Rod Hague et al; politik adalah kegiatan yang menyangkut cara bagaimna kelompok mencapai keputusan-keputusan yang bersifat kolektif dan mengikat melalui usaha untuk mendamaikan perbedaan-perbedaan antara anggotanya.
2. Menurut Andrew Heywood; politik adalah kegiatan suatu bangsa yang bertujuan untuk membuat, mempertahankan, dan mengamandemen peraturan-peraturan umum yang mengatur kehidupannya, yang berarti tidak dapat terlepas dari gejala konflik dan kerja sama.
Celebrity Politics" mulai dikenal dalam terminologi Ilmu politik setelah para bintang film, pemain sinetron, komedian, dan penyanyi terjun ke dunia politik , bukan sebagai penghibur panggung kampanye atau pengumpul suara. Tapi, mereka, serius mengejar kursi jabatan publik seperti anggota DPR, bupati, walikota, gubernur atau bahkan presiden.
Pengalaman di Amerika Serikat dan Filipina membuktikan bahwa film dan televisi telah menjadi pembuat raja ("kingmaker") yang memungkinkan Arnold Swarchzenegger menjadi Gubernur California dan Joseph Estrada menjadi Presiden Filipina.
Darrell West, penulis buku "Celebrity Politics", berpendapat bahwa artis dan pelawak tergiur terjun ke jabatan publik akibat perkembangan media, khususnya televisi, dan demokrasi. Fenomena selebriti berpolitik bukan barang baru lagi di Indonesia, entah itu menjadi alat politik atau benar-benar terjun ke dunia Politik. Selebriti menjadi alat politik jamak kita jumpai di masa Orde Baru, dimana GOLKAR menggunakan sejumlah selebriti sebagai pendulang suara ketika melakukan kampanye. Bahkan secara terang-terangan menggunakan organisasi profesi artis semacam PARFI dan PAPMI sebagai salah satu kendaraan politik. Setelah era reformasi, fenomena ini justru semakin menguat. Sebagaimana ditulis Eep Saefuloh Fatah yang dimuat di Kompas, 22 Januari 2008, pada pemilu 2004 dari sekitar 30 selebriti yang memperebutkan kursi Legislatif, enam selebriti berhasil menjadi anggota legislatif.
Tidak hanya kursi legislatif yang menjadi incaran para selebriti. Arena pertarungan politik mereka justru meluas, yakni memperebutkan jabatan Kepala Daerah. Tentu kita masih ingat dengan “perjuangan” Marissa Haque mencalonkan diri sebagai Calon Gubernur Banten meski akhirnya kalah melawan incumbent. Dan terakhir Rano Karno memperoleh kemenangan suara dalam pemilihan Wakil Bupati Banten.
Terdapat dua jenis “politisi selebriti” menurut John Street - sebagaimana dikutip oleh Eep- yaitu:
1. Para pejabat publik yang berlatar belakang belakang dunia hiburan, bisnis pertunjukkan ataupun olahraga.
2. Para selebriti yang menggunakan “panggung” keartisan untuk menyuarakan “kepentingan” politik.
Untuk jenis yang pertama ada Ronald Reagen dan Arnold Schwarzenegger di Amerika Serikat sebagai contoh. Di Indonesia sendiri terdapat nama-nama semacam Adjie Massaid dan Rano Karno dan lain sebagainya.
Sebagaimana para politikus yang bertarung di arena politik demi kepentingan kekuasaan, para selebriti pun ternyata perlu berpolitik untuk mencapai puncak ketenaran dan sebisa mungkin mempertahankannya. Dalam berpolitik ada dua cara yang biasa dilakukan oleh para selebriti yaitu Good Policy dan Bad Policy.
Cara pertama dapat diartikan berpolitik dengan menunjukkan profesionalitas sesuai profesi. Sangat jarang menemukan selebriti di Indonesia yang menggunakan good policy untuk meraih kepopulerannya. Sebaliknya adalah banyak selebriti yang dikenal oleh masyarakat bukan karena karya-karyanya tapi lebih kepada tingkah laku negatif. Misalnya melakukan perselingkuhan, kawin cerai atau terjerat narkoba.
Ironisnya, bad policy nampaknya lebih menjadi pilihan bagi banyak selebriti kita, terutama selebriti yang tiba-tiba terkenal karena sering tampil di acara gossip. Hal inilah yang menjadikan kata selebriti mengalami pergeseran makna. Siapapun yang pernah muncul dalam tayangan infotaintment otomatis akan mendapatkan gelar selebriti. Tidak peduli apakah orang tersebut memang sudah dikenal karena karyanya atau belum.
BAB III
PEMBAHASAN

A. LATAR BELAKANG SELEBRITIS INDONESIA TERJUN KEDUNIA POLITIK
Panggung politik dalam negeri belakangan ini makin diramaikan kehadiran artis. Tak ada yang tahu pasti apakah ketertarikan sejumlah selebritis itu terjun ke politik karena sekadar memanfaatkan popularitas ataukah memang punya kapasitas. Yang pasti, pentas politik negeri ini diwarnai fenomena baru, yakni "selebritis politik"
Sejak pemilu kepala daerah secara langsung dan pemilihan anggota legislatif ditetapkan berdasarkan jumlah suara, makin banyak artis berkiprah di politik. Salah satu faktor penting dalam pemilihan langsung, popularitas sangat menentukan tingkat elektabilitas. Hal itulah yang menjadi modal artis untuk menembus panggung politik. Memang ada beberapa artis yang gagal, tetapi tak sedikit yang sukses menjadi politisi atau birokrat.
Wajah menarik caleg artis tidak menjamin tingkat elektibilitas di mata rakyat. Kualitas kemampuan berpolitik tetap menjadi pertimbangan tersendiri. Menjadi anggota dewan menggiurkan banyak kalangan, tak terkecuali artis. Oleh karena itu, banyak sejumlah kalangan tertarik untuk berkompetisi menduduki kursi sebagai anggota dewan, termasuk para artis.
Jika tidak ingin dicap hanya mengandalkan popularitas dengan gaya hidup ala selebritis, kapasitas artis yang mencalonkan diri menjadi anggota legislatif wajib disiapkan. Kapasitas itu terkait dalam hal keterampilan berpolitik, termasuk di dalamnya kemampuan berstrategi, bernegosiasi, beradu argumen serta menjalankan tugasnya untuk memperjuangkan aspirasi masyarakat.
Wajah menarik dan mengundang decak kagum banyak kalangan, tapi kualitas kapasitas tidak boleh dilupakan. Sebab, keterampilan untuk menjadi seorang artis dan politisi memang jauh berbeda. Meskipun sama-sama menjadi tokoh publik, tapi keduanya adalah dunia yang sangat berbeda.
Berprofesi sebagai artis membutuhkan keterampilan di bidang seni peran, suara, ataupun gerak. Sementara dunia politik adalah keterampilan seni berkompromi dan berstrategi. Untuk itu, dengan maraknya bintang-bintang selebriti yang masuk ke dunia politik, Hal itu mengundang keraguan sebagian kalangan.
Apakah mereka memiliki kapasitas untuk menjadi seorang politisi? Mampukah mereka bernegosiasi dan beradu argumentasi dengan lawan politik untuk memenangkan ide-ide dan gagasan mereka? Tidak sedikit pihak yang meragukan kapasitas dan kapabilitas seorang artis dalam menjalani perannya sebagai anggota legislatif.
Bukan bermaksud menganggap remeh. Memang, tidak mudah untuk menjadi seorang politisi yang amanah. Bukan hanya kalangan artis, orang dengan latar belakang kiprah dan sepak terjang di bidang politik pun tidak jarang yang akhirnya lupa dengan kekuasaan. Lupa akan tanggung jawab yang sebenarnya di laksanakan.
Sebagaimana diungkapkan Lord Acton (1887) ”Power tends to corrupt,and absolute power corrupts absolutely”. Siapa pun orangnya dan apa pun latar belakangnya,jika sudah memiliki kekuasaan akan mendapatkan banyak godaan untuk menyalahgunakan kekuasaannya itu.Tidak peduli dia seorang artis, aktivis, atau lainnya memungkinkan ketika sudah duduk menjadi anggota dewan berpotensi melakukan korupsi.
Pemilu-pemilu pada saat ini diwarnai dengan makin banyaknya selebriti yang terjun ke dunia politik. Bintang film, pemain sinetron, komedian, penyanyi dan presenter televisi ramai-ramai menjadi calon legislatif dari partainya masing-masing. Dulunya para artis berada di panggung kampanye kebanyakan hanya untuk menghibur. Para politisi membawa bintang film, penyanyi dan pelawak keliling berkampanye untuk dijadikan pengumpul suara (vote getter) atau bahkan sekadar pengumpul massa. Kini, sejumlah artis berada di panggung kampanye benar-benar serius untuk berkampanye supaya partainya menang dan dirinya terpilih menjadi anggota legislatif. Pada masa kampanye, mereka bukan hanya menjadi juru kampanye (jurkam), tetapi serius mengejar kursi jabatan publik.
Ada sejumlah faktor yang memungkinkan para selebriti memasuki dunia politik. Para ahli berpendapat bahwa selebriti politik muncul akibat perkembangan media, khususnya televisi dan demokrasi. Pengalaman di Amerika Serikat dan Filipina membuktikan bahwa film dan televisi menjadi pembuat raja (kingmaker) yang memungkinkan Arnold Swarchzenegger menjadi Gubernur California dan Joseph Estrada menjadi Presiden Filipina.
Televisi telah menjadi bagian dari kehidupan rakyat di manapun termasuk di Tanah Air. Hampir 80 persen rakyat Indonesia memiliki akses ke televisi, sekalipun banyak yang tidak memiliki perangkat elektronik tersebut. Kenyataan membuktikan bahwa televisi telah menjadi sumber informasi yang utama dari masyarakat.
Era televisi ini menguntungkan para selebriti karena mereka mampu menggunakan medium ini untuk menggalang kepopularitasan dan citra diri. Selebriti biasanya photogenic, yang wanita berparas ayu dan yang lelaki ganteng dan gagah. Mereka sangat pandai menarik perhatian media. Apapun yang mereka lakukan dan bicarakan bisa menjadi berita. Dari mulai rekaman album baru sampai kawin cerai jadi bahan utama acara semacam Cek&Recek atau Kabar Kabari. Begitupun ketika memasuki dunia politik, para selebriti mendapat perhatian dan liputan besar dari media.

B. KIPRAH SELEBRITIS DI KANCAH PERPOLITIKAN INDONESIA
Pemilihan umum secara langsung memberikan angin segar bagi mereka yang telah dikenal oleh masyarakat luas. Salah satu profesi yang diuntungkan adalah kaum selebritis yang wajahnya seringkali menghiasi layar televisi. Mereka pun berbondong-bondong alih profesi dari yang sebelumnya seorang artis menjadi politisi.
Hubungan antara artis dan partai politik menjadi saling menguntungkan satu sama lain. Popularitas sang artis dijadikan sebagai magnet untuk menarik masa agar turut memilih partai yang dianaungi artis tersebut. Sebagai ganjarannya, artis diberikan kesempatan untuk tampil menjadi wakil rakyat maupun calon kepala daerah. Simbiosis mutualisme jenis baru yang mulai jamak berlaku dalam kancah politik di negeri ini.
Secara kelembagaan, fungsi partai politik adalah menampung dan menyalurkan aspirasi masyarakat. Selain itu turut berfungsi sebagai pengkaderan anggota dan memberikan pendidikan politik bagi masyarakat. Partai politik juga mempunyai kedudukan yang sangat besar sebagai satu-satunya kendaraan untuk melanggengkan jalan menuju singgasana anggota dewan dan kepala daerah. Sedangkan langkah lain melalui pencalonan individu belum bisa dilaksanakan.
Timbul kekhawatiran jika artis yang diusung sebagai tokoh politik hanya dijadikan alat untuk meraup banyak suara. Padahal, mayoritas artis tidak memiliki latar belakang bergelut di bidang politik. Dengan kata lain, masih ada banyak orang yang lebih kompeten daripada mereka. Selama mereka popular dan dikenal oleh masyarakat, kompetensi bukanlah persoalan besar.
Inilah yang membuat banyak keraguan tentang kiprah para artis dalam kancah politik Sedangkan fungsi partai politik sangat berat dan kompleks. Salah besar jika fungsi itu harus dijalankan oleh orang-orang yang hanya sekadar mengandalkan popularitas. Selain itu banyak anggapan negatif terhadap selebritis yang terjun ke dunia politik. Mereka dianggap tidak memiliki loyalitas tehadap partainya. Hal ini disebabkan penanaman ideologi bagi artis hanya sebatas di permukaan sehingga mereka seringkali tergoda untuk pindah ke partai lain.
Para politisi instan itu juga dianggap telah merusak sistim kaderisasi partai. Dengan popularitasnya, mereka dapat menyingkirkan kader partai yang merintis karir sejak awal. Melihat kondisi demikian, seharusnya partai politik harus lebih selektif dalam memilih kader partai. Jangan silau terhadap popularitas seseorang. Hal yang paling substansial malah dilupakan. Kompetensi dan integritas harus menjadi landasan kuat dalam memutuskan apakah layak atau tidak menjadi wakil rakyat. Bukan berarti artis tidak boleh berkecimpung di dalam partai politik, hanya saja harus ada proses seleksi yang adil dan seimbang bagi seluruh kader partai. Selama artis tersebut dapat memenuhi kualifikasi yang dibutuhkan, maka dia layak. Sebaliknya, jika artis itu hanya mengandalkan popularitas, partai harus berani untuk menolak.
Hubungan artis dan partai politik seharusnya bisa menjadi kekuatan yang menghasilkan energi positif. Popularitas sang artis akan lebih diterima oleh masyarakat. Dengan demikian, artis dapat bertindak sebagai penghubung gap antara partai politik dengan masyarakat yang notabene adalah konstituennya. Faktanya, seringkali masyarakat tidak kenal dengan wakil-wakilnya yang berperan sebagai eksekutif maupun legislatif. Dengan demikian, artis memiliki bargaining position yang lebih dibandingkan lainnya. Namun, jangan sampai artis mengkultuskan selebritas politik demi memenuhi hasrat dengan mengesampingkan kepentingan.
McGinniss (1969) dalam The Selling of The President 1968 pernah menyebutkan adanya kekuatan penting yang diperankan oleh media massa dalam pemilihan. Media massa mampu menentukan pilihan seseorang setelah ikut membentuk, manipulasi citra yang dilakukan seorang kandidat. Terbukti, ada peningkatan jumlah pemilih secara drastis terhadap seorang kandidat setelah dipublikasikan media massa.
Itu berarti, media mampu membentuk dan mempopulerkan seorang artis. Citra artis sebagai orang yang berpenampilan bisa masuk kriteria masyarakat untuk memilihnya, lepas dari apakah artis ini mempunyai track record (rekam jejak) yang baik atau tidak. Apalagi, masyarakat semakin lama semakin “muak” dengan perilaku elite politik bukan artis. Mereka disibukkan dengan mengurusi kepentingan diri dan kelompoknya.
Di sisi lain ada artis yang tiba-tiba muncul dan sudah dikenal oleh masyarakat lewat ekspos media massa. Dengan keluguan dan mengandalkan popularitas, mereka kemudian tampil ke gelanggang politik. Artis menjadi alternatif pilihan mereka. Seolah ada kesepakatan di masyarakat, yang penting bukan elite politik yang selama ini dikenal dan didukung oleh partai politik.
Di birokrasi pemerintahan, ada Wakil Gubernur Jawa Barat Dede Yusuf, Wakil Bupati Tangerang Rano Karno, dan Wakil Bupati Garut Dicky Chandra. Pada DPR periode 2009-2014 lebih banyak lagi, di antaranya Theresia EE Pardede (Tere), Rieke Diah Pitaloka, Nurul Arifin, Rachel Mariam Sayidina, Tantowi Yahya, Adjie Massaid, Eko Hendro Purnomo (Eko Patrio), dan Venna Melinda dan lain sebagainya.





BAB IV
PENUTUP

A. KESIMPULAN
Pemilihan umum secara langsung memberikan angin segar bagi mereka yang telah dikenal oleh masyarakat luas. Salah satu profesi yang diuntungkan adalah kaum selebritis yang wajahnya seringkali menghiasi layar televisi. Sehingga mereka pun berbondong-bondong alih profesi dari yang sebelumnya seorang artis menjadi politisi.
Hubungan antara artis dan partai politik menjadi saling menguntungkan satu sama lain. Popularitas sang artis dijadikan sebagai magnet untuk menarik masa agar turut memilih partai yang dianaungi artis tersebut. Sebagai ganjarannya, artis diberikan kesempatan untuk tampil menjadi wakil rakyat maupun calon kepala daerah. Simbiosis mutualisme jenis baru yang mulai jamak berlaku dalam kancah politik di negeri ini.
Secara kelembagaan, fungsi partai politik adalah menampung dan menyalurkan aspirasi masyarakat. Selain itu turut berfungsi sebagai pengkaderan anggota dan memberikan pendidikan politik bagi masyarakat. Partai politik juga mempunyai kedudukan yang sangat besar sebagai satu-satunya kendaraan untuk melanggengkan jalan menuju singgasana anggota dewan dan kepala daerah.
Kehadiran artis dalam dinamika politik Indonesia menjadi implikasi yang tidak terpisahkan dari sistem pemilihan langsung serta keterbukaan informasi dan perkembangan media. Bahkan pemanfaatan artis sebagai caleg dalam Pemilu 2009 lalu dinilai sebagai upaya vote getter menjadi bagian struktur politik partai, walaupun banyak elit partai yang akhirnya kecolongan dengan revisi UU 10/2008 tentang Pemilu pada pasal 214 tentang penetapan caleg terpilih berdasarkan suara terbanyak. Saat itu banyak elit partai berada di nomor urut puncak dan artis ditempatkan di nomor urut bawah sebagai pendulang suara partai, namun ternyata sang artis dengan popularitasnya berhasil mengungguli suara elit partai.

B. SARAN – SARAN

Adapun saran-saran yang dapat kami berikan adalah agar kita sebagai masyarakat yang memilih wakil rakyak tidak hanya melihat pada kepopuleran seseorang saja akan tetapi juga lebih melihat pada kemampuan yang di miliki oleh wakil rakyat dalam membawa aspirasi masyarakat.












DAFTAR PUSTAKA

• hhtp:/www.suaramerdeka.com/harian/0410/03/nas07.htm
• http://indonesiafile.com/content/view/1897/48/
• http://isacrohan.blogspot.com/2009/01/makhluk-manis-dalam-parpol.html
• http://nurudin-umm.blogspot.com/2008/12/artis-jadi-pejabat-dan-gagalnya.html
• http://www.freelists.org/post/nasional_list/ppiindia-Re-Fenomena-Artis-Menjadi-Caleg
• http://www.pdiperjuangan-jatim.org/v03/index.php?mod=berita&id=1307
• http://www.freelists.org/post/nasional_list/ppiindia-Re-Fenomena-Artis-Menjadi-Caleg
• http://wawanwae.blogspot.com/2008/08/fenomena-artis-terjun-ke-politik.html
• http://www.pdiperjuangan-jatim.org/v03/index.php?mod=berita&id=1307
• http://prpsolo.blogspot.com/2009/02/politik-jika-artis-berpolitik.html
• http://syafrilhernendi.com/2009/05/28/vote-getter/
• http://www.jpnn.com/berita.detail-48333
• http://arsyadsalam.wordpress.com/2008/01/14/artis-masuk-parpol-mau-apa-cari-apa/
• Prof. Miriam Budiardjo, Dasar-Dasar Ilmu Politik. Jakarta : PT Gramedia Pustaka Utama, 2008.
• Carlton Clymer Rodee, DKK, Pengantar Ilmu Politik. Jakarta : PT RajaGrafindo Persada, 2002.