Senin, 31 Mei 2010

SINTUWU MAROSO SEBAGAI NILAI KEARIFAN LOKAL DALAM PENYELENGARAAN PEMERINTAHAN DI KABUPATEN POSO

abstraksi

Sintuwu Maroso dalam bahasa Poso mengandung dua makna yaitu Sintuwu yang berarti bersatu atau persatuan sedangkan maroso berarti kuat sehingga apabila digabungkan berarti persatuan yang kuat.

Nilai kearifan lokal yang kenal masyarakat poso “Sintuwu Maroso” perlu perlu diperkenalkan kepada generasi muda kedepan. Sintuwu maroso adalah mufakat bersama untuk melakukan suatu kegiatan secara bersama-sama.

Dengan memegang nilai Sintuwu Maroso ini maka masyarakat poso bisa bekerja sama dengan penuh rasa kekeluargaan satu komunitas dengan persatuan yang kuat. Kegiatan bersama dalam konteks sosial dan agama disebut sebagai mesale atau rasa tanggung jawab sosial dalam membantu masyarakat yang lain melakukan tugasnya.

Sintuwu juga mengandung pengertian adanya nasialapale atau keterbukaan dalam keterbukaan menerima keyakinan agama, bahasa, adat istiadat yang berbeda, rasa solidaritas dan kekeluargaan yang meningkat antar sesama warga, serta rasa simpatik dan penghargaan antar sesama. Selain itu terkanung makna membetulungi dan mombepelae atau kepedulian sosial yaitu semangat saling membantu dan bahu membahu.






BAB I

PENDALUHUAN

A. Latar Belakang

Poso merupakan sebuah kabupaten di Provinsi Sulawesi Tengah yang memiliki luas wilayah 14.433,76 Km2 dengan letak geografis 0,35-1,20 LU dan 120,12-122,09 BT. Di wilayah administratif kabupaten Poso menyebar 13 kecamatan yang membawahi 211 desa dan 29 kelurahan, yang didiami 231.891 jiwa (sensus penduduk 2000) dengan pluralitas masyarakat yang hidup dari beragam komunitas etnis dan agama. Di samping tanah pertanian yang subur, sebagian besar wilayah kabupaten Poso ditumbuhi hutan dengan vegetasi kayu-kayuan (jenis agathis, ebony, meranti, besi, damar dan rotan), fauna yang hidup secara endemik (anoa, babi rusa dan burung maleo) serta tambang mineral yang cukup banyak tersebar di sekitar kawasan pegunungan.

Nilai-nilai kearifan lokal ternyata bisa menjadi senjata ampuh dalam menjaga persatuan dan kesatuan yang ada. Nilai kearifan Lokal begitu melekat di masyarakat. Kearifan lokal adalah sikap, pandangan, dan kemampuan suatu komunitas didalam mengelola lingkungan rohani dan jasmaninya, yang memberikan kepada komunitas itu daya tahan dan daya tumbuh didalam wilayah dimana komunitas itu berada (Saini : Hal 5 thn 2005).

Masyarakat Poso mempunyai latar belakang sejarah dan peradaban yang panjang di masa lampau yang bisa dilacak lewat warisan peninggalan kebudayaan megalit. Secara kultural masyarakat Poso yang menggunakan bahasa Bare’e dalam komunikasi, mengikat kekerabatan mereka dengan semboyan “Sintuwu Maroso” (persatuan yang kuat) yang bertahan hingga meledaknya konflik sosial pada akhir 1998 yang terus berlanjut sampai dengan sekarang.

B. Rumusan Masalah

Adapun rumusan masalah dari makalah ini adalah sebagai berikut :

1. Bagaimana nilai kearifan lokal di Kabupaten Poso ?

2. Bagaimana implementasi Sintuwu Maroso sebagai nilai kearifan lokal dalam penyelengaraan pemerintahan di Kabupaten Poso ?

C. Tujuan Penulisan

Adapun tujuan penulisan dari makalah ini adalah :

1. Agar pembaca mengetahui nilai kearifan lokal di Kabupaten Poso.

2. Agar pembaca mengetahui implementasi Sintuwu Maroso sebagai nilai kearifan lokal dalam penyelengaraan pemerintahan di Kabupaten Poso.






BAB II

PEMBAHASAN

A. Nilai Kearifan Lokal Di Kabupaten Poso

Kabupaten Poso tergolong berpenduduk sangat heterogen. Sebelum konflik terjadi, masyarakat dengan aneka etnis maupun agama hidup rukun dalam harmoni sosial yang sangat terjaga. Walau suku Pamona, yang boleh dikatakan sebagai pribumi Tanah Poso, mendominasi entitas suku yang ada di Poso, namun pergesekan antar etnis nyaris tak pernah ada. Mereka hidup dalam satu consince collective yang disebut dengan Sintuwu Maroso.

Sintuwu Maroso merupakan satu kearifan lokal atau semboyan yang sering digunakan oleh masyarakat kabupaten Poso. masyarakat Poso merupakan masyarakat yang di kenal sangat menjunjung tinggi adat-istiadat dan rasa kekeluargaan.

Sintuwu Maroso dalam bahasa Bare’e mengandung dua makna yaitu Sintuwu yang berarti bersatu atau persatuan sedangkan maroso berarti kuat sehingga apabila digabungkan berarti persatuan yang kuat. Makna sintuwu maroso adalah bersatu dalam satu kekuatan persatuan tanah Poso.

Nilai-nilai yang lahir dari hasil perjumpaan hidup bersama, dan menjadi jaminan kelangsungan hidup komunitas. Nilai-nilai dasar yang disepakati sebagai warisan turun-temurun tersebut dirumuskan dalam satu istilah yang disebut ada Sintuwu yaitu nilai yang menjadi kekuatan hidup bersama atas dasar kesamaan kehidupan. Ada Sintuwu menjadi nilai yang mengandung makna optimistis untuk menjadi perekat terbangunnya hidup bersama. Nilai-nilai yang mendukung kehidupan dan kekuatan perekat keragaman menjamin komunitas Tana Poso untuk menemukan kembali identitas sebagai umat bermartabat.

Sintuwu juga mengandung pengertian adanya nasialapale atau keterbukaan dalam keterbukaan menerima keyakinan agama, bahasa, adat istiadat yang berbeda, rasa solidaritas dan kekeluargaan yang meningkat diantara sesama warga, serta rasa simpatik dan penghargaan antar sesama. Selain itu terkandung makna membetulungi dan mombepelae atau kepedulian sosial yaitu semangat saling membantu dan bahu membahu.

Sintuwu maroso adalah pengjewantahan (perwujudan serta wujud) impian dan harapan orang – orang Pamona-Poso. Suatu hal yang menjadi impian atau impian seluruh orang Pamona-Poso. Inilah yang dinamakan Visi. Tentu Untuk mengimlementasikan impian tersebut tidaklah semudah mengedipkan mata. Diperlukan dukungan moril dan materil Untuk mewujudkannya. Olehnya harus ada upaya dari seluruh komponen orang untuk mencapai cara-cara untuk mewujudkan impian tersebut.(Guntur Sm Desember 2009).

Makna filosofis yang terkandung dalam semboyan Sintuwu Maroso. Semboyan Sintuwu Maroso (Bahasa Pamona secara sederhana berarti : Persatuan, kerjasama yang kokoh dalam rambu saling menghormati dan menghargai) mencerminkan keterbukaan, keramahan, bahu membahu dan tolong menolong yang dinyatakan dengan sikap toleransi yang tinggi kepada siapapun termasuk kepada orang yang berbeda suku maupun agama sekalipun. Karena falsafah yang sudah mendarah daging secara turun temurun ini, kerap terekspresi dalam bentuk sikap mengalah dalam setiap sendi kehidupan bermasyarakat orang Poso (orang Pamona).

Dengan memegang nilai kearifan lokal sintuwu Maroso maka masyarakat poso bisa bekerjasama dengan penuh kekeluargaan dalam rasa kebersamaan satu komuniti. Kegiatan bersama dalam konteks sosial dan agama ini disebut sebagai Mesale atau rasa tangungjawab sosial dalam membantu anggota masyarakat yang lain melakukan tugasnya.

Nilai kearifan lokal lainnya yang dapat dimaksimalkan adalah tradisi padungku yang merupakan bentuk kesyukuran atas nikmat dan rezeki yang telah diberikan oleh Tuhan. Apabila nilai ini dikembangkan sebagai bagian dari penyelesaian konflik di Poso maka perdamaian abadi akan bisa diwujudkan.

Keragaman agama, etnik, dan budaya, tanpa disadari telah menciptakan building block yang mengganggu harmoni kohesi dan interrelasi sosial. Hal ini sebenarnya merupakan akibat dari sistem otoritarian Orde Baru yang tidak merancang kerukunan dan kedamaian antar etnis dan agama dengan basis keragaman melainkan dengan basis keseregaman. Karena itu, begitu Orde Baru jatuh, konflik yang tertahan pun mencuat.

Nilai-nilai kearifan lokal semacam itulah yang dilupakan pemerintah ketika melakukan proses perdamaian di kabupaten Poso Sehingga keadilan dan kesetaraan di bidang politik, sosial budaya, dan ekonomi antara masyarakat asli dan pendatang tidak bisa terwujud. Padahal nilai kearifan lokal adalah bagian penting kehidupan sehari-hari masyarakat. Sehingga tidak seharusnya pendekatan budaya lokal dipindahkan dari upaya menyelesaikan konflik yang terjadi pada masyarakat yang heterogen seperti di kabupaten Poso.

B. Implementasi Sintuwu Maroso Sebagai Nilai Kearifan Lokal Dalam Penyelengaraan Pemerintahan Di Kabupaten Poso

Konflik Poso yang muncul dipermukaan lebih dilihat dari aspek SARA (suku, agama, ras dan antar kelompok). Akan tetapi bila diperhatikan secara cermat, konflik Poso lebih didasarkan pada kesenjangan politik pemerintahan dan kesenjangan sosial ekonomi.

Kesenjangan politik pemerintahan pada dasarnya dipicu pergeseran pemegang tampuk pemerintahan daerah/lokal. Pergeseran pengendalian pemerintah di kawasan Poso dari pemerintahan kolonial Hindia-Belanda kepada Negara Kesatuan Republik Indonesia juga menggeser kepemimpinan lokal dari etnislokal kepada etnis pendatang. Pergeseran kepemimpinan ini juga berimplikasi terhadap proses rekrutmen pegawai negeri sipil yang mengabdi kepada pemerintahan daerah setempat, tentunya.

Pasca konflik Poso belum menemukan formula ideal guna menuntaskan problem masyarakatPoso. Oleh sebab itu ada baiknya merumuskan agenda transisi yang jelas dan dapat diwujudkan dalam periode tertentu dan dengan mekanisme serta instrument demokratik yang berbasis pada masyarakat sipil sebab hal ini merupakan tuntutan penting daripada sekedar merumuskan formula-formula ideal yang sifatnya sesaat.

Poso hendaknya ditarik dalam satu perspektif kemajemukan, daerahnya terbentuk oleh model masyarakat yang plural, multi suku dan bermacam agama, meski demikian, mereka tidak terintegrasi satu dengan yang lainnya. Sebagaimana idealnya sebuah wilayah majemuk dibangun. Hal ini akibat adanya segregasi wilayah berdasar agama dan suku. Di kecamatan Poso Kota misalnya, nama kampung didasari pada suku yang dominan mendiami wilayah tertentu. Ada kampung Gorontalo, Kampung Bugis, Kampung Arab, Kampung Minahasa dan berbagai term yang menunjukan sebuah entitas etnis yang sangat ekstrim.

Segregasi berdasar suku dan etnis tersebut kemudian diperkuat lagi oleh entitas keberagamaan masyarakatnya. Artinya, Kampung Bugis, Kampung Gorontalo, Arab misalnya penduduknya dominan beragama Islam, sementara Kampung Minahasa dan semacamnya, lebih merujuk pada agama Kristen. Oleh sebab itu masyarakat yang multi etnis demikian terpetakan dalam spectrum perbedaan dripada persamaan dengan demikian, masyarakat majemuk adalah unit politik suku- yang dihuni berbagai suku yang hidup berdampingan satu sama lain tapi tidak bercampur. (Furnivall 1948).

Masyarakat majemuk tersebut dalam perkembangan selanjutnya, diwarnai oleh semangat perbedaan dalam nuansa politik (termasuk pertikaian) sementara semangat cultural yang mampu merepresentasi sikap toleransi dan pemahaman bersama tidak pernah muncul. Oleh karenanya, interaksi mereka mengalami siklus yang stagnan dan kontra produktif dalam isu kebersamaan dalam keragaman. Masyarakat kehilangan momentum penting dalam menata pergaulan antar budaya.

Sikap akomodatif demikian pada perkembangannya memungkinkan adanya persentuhan tradisi, selanjutnya berdampak pada munculnya pluralism di masyarakat, seperti kemajemukan etnis dan agama, hal demikian juga berarti kemajemukan tradisi. Poso berkembang sebagai masyarakat yang plural, baik etnis maupun agama. Ikatan kekerabatan yang juga muncul sebagai akibat persentuhan tradisi, semboyan Sintuwu Maroso, bukanlah jargon yang dibuat hanya untuk kepentingan rekonsiliasi, namun term itu telah terbentuk sepanjang sejarah Poso.

Masyarakat Poso pada perkembangan selanjutnya, terjebak pada logika kapitalisme, dimana prinsip-prinsip saling membantu dan bekerja sama tidak tampak.kehidupan harmonis yang dilandasi semangat Sintuwu Maroso, Nampak hanya berada dalam logika social dan kekerabatan tanpa menyentuh aspek lain, seperti munculnya penciptaan system ekonomi yang mengedepankan prinsip saling membantu sebagaimana diamanahkan oleh symbol budaya tersebut.

Dalam penyelelesaian konflik di Poso pemerintah menggunakan pendekatan budaya sebagai sarana penyelesaian konflik di Poso. Konsep tentang nilai budaya Sintuwu Maroso hendaknya lebih ditransformasikan kedalam nilai-nilai kerjasama ekonomi dan etos kerja masyarakat dalam rangka membentuk juang masyarakat Poso.

Nilai kearifan lokal yang dikenal masyarakat Poso, Sintuwu, perlu dipupuk dan diperkenalkan kepada generasi muda setempat. Sintuwu adalah mufakat bersama untuk melakukan suatu kegiatan secara bersama-sama. Karena konflik yang terjadi sejak 1998 di Poso nilai kearifan lokal ini seolah luntur dan dilupakan.

Dengan memegang nilai sintuwu maka masyarakat Poso bisa bekerjasama dengan penuh kekeluargaan dalam rasa kebersamaan satu komuniti. Kegiatan bersama dalam konteks sosial dan agama ini disebut sebagai Mesale atau rasa tangungjawab sosial dalam membantu anggota masyarakat yang lain melakukan tugasnya.

Sintuwu Maroso mempunyai pengertian sebagai ‘bersatu kita kuat’. Sebagai implementasi dari Sintuwu Maroso kini digalakkan kembali aktivitas pos Sintuwu, tari dero dan padungku. Inilah perekat yang diharapkan dapat mengembalikan kondisi sosial, ekonomi dan politik di Kabupaten Poso. Namun apapun bentuk pemulihan yang dilakukan, sebelum para pengungsi kembali ke kampung halamannya, maka proses pemulihan itu belum mencapai hasil optimal.






BAB III

PENUTUP

A. Kesimpulan

Poso merupakan sebuah kabupaten di Provinsi Sulawesi Tengah yang memiliki luas wilayah 14.433,76 Km2 dengan letak geografis 0,35-1,20 LU dan 120,12-122,09 BT. Di wilayah administratif kabupaten Poso menyebar 13 kecamatan yang membawahi 211 desa dan 29 kelurahan, yang didiami 231.891 jiwa (sensus penduduk 2000) dengan pluralitas masyarakat yang hidup dari beragam komunitas etnis dan agama.

Sintuwu Maroso merupakan satu kearifan lokal atau semboyan yang sering digunakan oleh masyarakat kabupaten Poso. masyarakat Poso merupakan masyarakat yang di kenal sangat menjunjung tinggi adat-istiadat dan rasa kekeluargaan.

Sintuwu Maroso dalam bahasa Bare’e mengandung dua makna yaitu Sintuwu yang berarti bersatu atau persatuan sedangkan maroso berarti kuat sehingga apabila digabungkan berarti persatuan yang kuat. Makna sintuwu maroso adalah bersatu dalam satu kekuatan persatuan tanah Poso.

Dalam penyelelesaian konflik di Poso pemerintah menggunakan pendekatan budaya sebagai sarana penyelesaian konflik di Poso. Konsep tentang nilai budaya Sintuwu Maroso hendaknya lebih ditransformasikan kedalam nilai-nilai kerjasama ekonomi dan etos kerja masyarakat dalam rangka membentuk juang masyarakat Poso.

Dengan memegang nilai sintuwu maka masyarakat Poso bisa bekerjasama dengan penuh kekeluargaan dalam rasa kebersamaan satu komuniti. Kegiatan bersama dalam konteks sosial dan agama ini disebut sebagai Mesale atau rasa tangungjawab sosial dalam membantu anggota masyarakat yang lain melakukan tugasnya.

Sintuwu Maroso mempunyai pengertian sebagai ‘bersatu kita kuat’. Sebagai implementasi dari Sintuwu Maroso kini digalakkan kembali aktivitas pos Sintuwu, tari dero dan padungku. Inilah perekat yang diharapkan dapat mengembalikan kondisi sosial, ekonomi dan politik di Kabupaten Poso. Namun apapun bentuk pemulihan yang dilakukan, sebelum para pengungsi kembali ke kampung halamannya, maka proses pemulihan itu belum mencapai hasil optimal.











DAFTAR PUSTAKA

Ø http://www.commongroundnews.org/article.php?id=25598&lan=ba&sid=1&sp=0

Ø http://katalog.pdii.lipi.go.id/index.php/searchkatalog/downloadDatabyId/6525/6526.pdf.

Ø Surahman, 2007. Konflik Horisontal dalam Penguasaan Sumber Daya Sosial, Studi Kasus di Poso Sulawesi Tengah. Disertasi Bandung. Universitas Padjajaran.

Ø http://www.radarsulteng.com/berita/index.asp?Berita=Opini&id=29345.

Ø http://catatanposo.blogdetik.com/2006/07/.

2 komentar:

  1. luar binasa...kwakwakwakwakwa
    jangan lupa berkunjung ke blog aku, banyak ebook-ebook menarik dan novel, gratis buat siapapun.....

    BalasHapus
  2. Blog ini bagus dan lebih bagus lagi kalau isinya banyak informasi atau referensi tks

    BalasHapus